Rabu, 04 Januari 2012

LARANGAN MENIMBUN BARANG POKOK

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Di tengah krisis ekonomi yang berkepanjangan yang menimpa negara Indonesia, khususnya umat Islam, banyak sekali orang-orang yang ingin memperoleh keuntungan dengan jalan yang tidak halal, yaitu tidak sesuai dengan peraturan-peraturan dalam Islam. Misalnya saja, masalah penimbunan barang pokok telah banyak sekali terjadi karena ingin mempeoleh keutnngan yang lebih untuk pribadinya sendiri, sedangkan orang-orang yang berada di kalangan bawah menjadi rugi karenanya.
Oleh karena itu, banyak sekali penguasa yang mengeruk keutnungannya dengan cara ihtikar (penimbunan) khususnya makanan pokok, jenis sekali ini sangat menguntungkan mereka karena dengan menimbun barang poko tersebut. Mereka memaksa masyarakat untuk membeli dengan harga 2 kali lipat, karena barang yang ada di pasaran sudah habis dan para konsumen mau tidak mau harus membelinya dari mereka. Oleh karenanya, ihtikar sangat dilarang oleh agama Islam karena sangat merugikan orang-orang kecil dan hukumnya berdosa.

1.2 Identifikasi Masalah

Adanya perbedaan para ulama fiqh dalam menentukan/menetapkan hukum ihtikar, maka penulis akan membahas beberapa masalah tentang pengertian, hukum, dan apa-apa yang ada dalam masalah bihtikar dengan rincian sebagai berikut:
1. Pengertian ihtikar.
2. Hukum ihtikar.
3. Waktu diharamkannya ihtikar.
Ketiga permasalahan di atas, akan dibahas dalam bab berikutnya dengan singkat dan jelas.

BAB II

LARANGAN MENIMBUN BARANG POKOK

2.1 Pengertian Ihtikar
Di dalam kitab “Fiqh Sunnah” karangan Sayyid Sabiq bahwasanya ia mendefinisikan ihtikar sebagai berikut:
الاِحْتِكَارُ هُوَ شِرَاءُ الشَّيْءِ وَحَبْسُهُ لِيَقِلَّ بَيْنَ النَّاسِ فَيَغَلُّ سِعْرُهُ وَيُصِيْبُهُمْ بِسَبَبِ ذلِكَ الضَّرَرِ

Artinya:
“Ihtikar adalah menyembunyikan sesuatu (barang) kemudian supaya barang tersebut sedikit di kalangan manusia maka harganya menjadi tinggi dan menimpa mereka karena kemudlaratan itu.” (Fiqgh Sunnah, Juz 3 : 117)
Ihtikar/menimbun artinya membeli barang dalam jumlah yang banyak , kemudian menyimpannya dengan maksud untuk menjualnya dengan harga tinggi kepada penduduk / masyarakat di saat mereka membutuhkannya. Biasanya barang yang ditimbun itu adalah barang yang melimpah dan harganya murah. Ketika barang sudah langka dan harganya tinggi, maka orang yang menimbun barang tersebut mengeluarkannya dengan harga tinggi, sehingga ia memperoleh keuntungan yang berlipat. Meskipun harganya tinggi, penduduk terpaksa membelinya karena mereka sangat membutuhkan barang pokok tersebut.

2.2 Hukum इह्तिकर

Ihtikar merupakan perbuatan yang diharamkan oleh syara’ dan sangat dilarang karena ia menimbun makanan pokok, berakhlak yang tercela, serta menyulitkan manusia. Di antara hadits-hadits yang melarang perbuatan ihtikar adalah sebagai berikut:

1. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi dan Muslim:

رَوَى أَبُوْ دَاوُدَ وَالتِّرْمِيْذِيْ وَمُسْلِمٌ عَنْ مَعْمَرٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسََّلَمَ قَالَ: مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ

Artinya:
“Diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmudzi dan Muslim, yang diterima dari Ma’mar, bahwasanya Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa yang menimbun (makanan pokok), maka dia itu berdosa.”
Dalam hadits di atas tidak dijelaskan jenis barang yang ditimbun, sehingga kalangan ulama Fiqh berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat, bahwasanya jenis barang apa saja yang memadlaratkan orang lain. Tapi hadits di atas jelas bahwa orang yang menimbun itu jelas-jelas telah berdosa. (Fiqh Sunnah, Juz 3 : 117)

2. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
عَنْ مَعْمَرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ عَنْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَيَحْتَكِرُ إِلاَّ خَاطِئٌ. (رواه مسلم)
Artinya:
“Dari Ma’mar bin Abdillah, Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seseorang menimbun (makanan pokok) melainkan ia berdosa.”
Hadits di atas memperkuat hadits yang sebelumnya, bahwasanya orang yang menimbun (makanan pokok) maka dia telah berdosa kepada Allah swt. (Mulughul Marah, Juz II)
Menurut Madzhab Jumhur dari kalangan Syafi’iyyah, Malikiyah, Hanabilah dan selainyya, bahwa penimbunan barang hukumnya haram, berdasarkan pertimbangan bahwa perbuatan tersebut akan menimbulkan kemadlaratan bagi manusia. Tapi, menurut pendapat fuqaha, di kalangan madzhab Hanafiyah, bahwa penimbunan barang dagangan hukumnya makruh tahrim saja, dengan pertimbangan bahwa penimbunan tersebut diperbolehkan jika demi kemaslahatan.

3. Hadits yang diriwayatkan oleh Rojiin di dalam Jami’nya:

وَذَكَرَ رَزِيْنُ فِى جَامِعِهِ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: بِئْسَ الْعَبْدُ الْمُحْتَكِرِ إِنْ سَمِعَ بِرُخْصٍ سَاءَهُ وَإِنْ سَمِعُ بَغَلاَءٍ فَرِحَ
Artinya:
“Rojin menyebutkan di dalam Jami’nya, bahwasanya Rasulullah saw. berkata, “sejelek-jeleknya hamba adalah sipenimbun, jika ia mendengar barang murah ia murka, dan jika barang menjadi mahal ia bergembira.”
Hadits di atas menunjukkan bahwa tidak diragukan lagi bahwasanya para penimbun dianggap sebagai sejelek-jeleknya hamba yang secara tidak langsung telah merampas hak dan kehidupan orang lain demi kepentingan dirinya sendiri.” (Fiqh Sunnah, Juz 3 : 117)

4. Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Haki, Ibnu Abi Syaibah dan Bazzar
رَىَو أَحْمَدُ وَالْحَاكِمُ وَابْنُ أَبِيْ شَيْبَةَ وَالْبَزَّارَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنِ احْتَكَرَ الطَّعَامَ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً فَقَدْ بَرِئَ مِنَ اللهِ وَبَرِئَ اللهُ مِنْهُ
Artinya:
“Telah meriwayatkan Ahmad,m Hakim, Ibnu Abi Syaibah dan Bazzar, bahwasanya Rasulullah saw. telah bersabda, “Barang siapa yang menimbun barang pangan (makanan pokok) selama empat puluh hari, maka ia sungguh telah terlepas dari Allah dan Allah pun lepas darinya.”
Maksud hadits di atas adalah bahwasanya penimbun itu telah keluar dari kontrol Allah swt. Jadi, ia bebas melakukan apa saja yang dikehendakinya, seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Larangan yang lebih tegas tentang penimbunan ini terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Hakim dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw. bersabda:

الْجَالِبُ مَرْزُوْقٌ وَالْمُحْتَكِرُ مَلْعُوْنٌ
“Orang-orang yang menawarkan barang dan menjualnya dengan harga murah (jalib) diberirezeki., sedangkan penimbun dilaknat.” (Fiqh Sunnah, Juz 3 : 117)

2.3 Waktu Diharamkannya Ihtikar

Para Ahli Fiqh, sebagaimana dikutif oleh Drs. Sudirman M, MA berpendapat bahwa penimbunan barang diharamkan bila terdapat syarat sebagai berikut:

1. Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya, atau dapat dijadikan persediaan untuk setahun penuh.
2. Barang yang ditimbunnya dalam usaha menunggu saat naiknya harga, sehingga barang tersebut dapat dijual dengan harga yang lebih tinggi, dan para konsumen sangat membutuhkannya.
3. Penimbunan itu dilakukan pada saat manusia sangat membutuhkannya, mislanya makanan, pakaian, dan lain-lain. Dengan demikian. Penimbunan barang-barang yang tidak dibutuhkan oleh konsumen, hal itu tidak dianggap sebagai penimbunan, karena tidak mengakibatkan kesulitan pada manusia.

Tidak ada komentar: